Marah. Lima huruf satu kata yang semakin
menambah beban masalah. Yang semakin menyesatkan arah. Yang semakin merumitkan
prahara sederhana. Yang menjadikan si(apa)pun murka.
Aku telah ditodong dengan jutaan angan,
dihantam dengan ketidakpastian yang semakin membuatku terjerembab dalam jurang
kemarahan. Sudah merangkak keluar namun tak kunjung melihat cahaya dalam
kegelapan. Memejamkan mata, menajamkan indera. Sama saja. Tetap senyap, tak
kunjung menemukan jalan.
Bersabar. Tak tahu kapan harus mengakhirinya.
Darimana awalnya. Ini sungguh berbeda dari biasanya. Aku sudah lelah. Hanya
bisa mencurahkannya melalui baris kata. Semoga tidak ada air mata di setiap
baitnya. Karena sendiri. Bukan anak kecil lagi. Masa sulit ini harus terlewati.
Tanpa ada tangan lain yang belum tentu bisa memahami.
Terkoyak. Tercabik. Api sudah mengepul di
atas kepala. Namun raga masih ingin diam. Tetap memperhatikan, memikirkan, dan
mempertanyakan. Disini, siapa yang harus disalahkan? Siapa yang harus
dikorbankan?
Kini aku tahu bahwa tidak semua pertanyaan
memiliki jawaban. Marah yang berujung kecewa. Membangkitkan kesadaran, aku
manusia yang tak punya kuasa. Aku manusia yang hanya ingin memandang dunia
dengan jendela terbuka. Aku manusia yang hanya ingin bercahaya seperti purnama.
Aku manusia yang hanya ingin cita segera tercipta.
Aku manusia yang tak tahu berada dimana.
Aku manusia yang tak tahu alur ceritanya. Aku manusia yang tak tahu harus
seberapa lama. Aku manusia yang tak tahu bagaimana akhirnya.
Aku manusia. Hanya sanggup bercerita, tak
sanggup mewujudkannya.
Ya.
Aku.
Ternyata manusia.