Monday, June 25, 2018

Ternyata Manusia



Marah. Lima huruf satu kata yang semakin menambah beban masalah. Yang semakin menyesatkan arah. Yang semakin merumitkan prahara sederhana. Yang menjadikan si(apa)pun murka.

Aku telah ditodong dengan jutaan angan, dihantam dengan ketidakpastian yang semakin membuatku terjerembab dalam jurang kemarahan. Sudah merangkak keluar namun tak kunjung melihat cahaya dalam kegelapan. Memejamkan mata, menajamkan indera. Sama saja. Tetap senyap, tak kunjung menemukan jalan.

Bersabar. Tak tahu kapan harus mengakhirinya. Darimana awalnya. Ini sungguh berbeda dari biasanya. Aku sudah lelah. Hanya bisa mencurahkannya melalui baris kata. Semoga tidak ada air mata di setiap baitnya. Karena sendiri. Bukan anak kecil lagi. Masa sulit ini harus terlewati. Tanpa ada tangan lain yang belum tentu bisa memahami.

Terkoyak. Tercabik. Api sudah mengepul di atas kepala. Namun raga masih ingin diam. Tetap memperhatikan, memikirkan, dan mempertanyakan. Disini, siapa yang harus disalahkan? Siapa yang harus dikorbankan?

Kini aku tahu bahwa tidak semua pertanyaan memiliki jawaban. Marah yang berujung kecewa. Membangkitkan kesadaran, aku manusia yang tak punya kuasa. Aku manusia yang hanya ingin memandang dunia dengan jendela terbuka. Aku manusia yang hanya ingin bercahaya seperti purnama. Aku manusia yang hanya ingin cita segera tercipta.

Aku manusia yang tak tahu berada dimana. Aku manusia yang tak tahu alur ceritanya. Aku manusia yang tak tahu harus seberapa lama. Aku manusia yang tak tahu bagaimana akhirnya.

Aku manusia. Hanya sanggup bercerita, tak sanggup mewujudkannya.

Ya.
Aku.
Ternyata manusia.


Share:

Related Posts: