Thursday, March 14, 2019

Tertanda, Aku



Sudah beberapa hari ini aku tak memimpikanmu. Bagaimana tidak, sudah beberapa hari ini juga aku tak bisa tidur. Hanya karena hati yang tandus, ingatan yang bergemuruh, sampai saat ini tak kunjung ingin sembuh
“Jika luka sudah terlanjur membekas, maka ingatan pun akan sulit lepas”. Ya. Ingatan ini sungguh tak mau hilang ditambah dengan dirimu yang menghilang. Ingatan ketika sama-sama berjuang namun kau biarkan aku berteman dengan harapan.
Seolah alam sedang bertepuk tangan untuk aku yang tak kunjung beranjak dari cinta sebelah tangan. Semakin aku ingin mengubur dalam-dalam semakin kuat harapan-harapan yang berdatangan.
Kalau bisa memilih, aku ingin meng“innalillahi’kan perasaan ini agar segera mati. Sayangnya yang kulihat justru innalillahi untuk perasaan mu yang sudah mati.
Sungguh ini sangat menyiksa, aku yang terlalu bodoh atau kamu yang bodoh sehingga tak menyadari aku terlalu ingin sampai menjadi seorang pemelas seperti ini. Jika saja menjalani hidup bisa semudah kalimat yang dikeluarkan orang-orang, pasti sudah ku lakukan.

“Aku baik-baik saja”. Adalah kalimat kebohongan yang terus aku lafalkan.
Diantara kita, siapa yang menjadi sekeras batu, dan siapa yang menjadi sesabar air ?
Diantara kita, siapa yang paling sulit mengikhlaskan perpisahan ?
Aku yang jenuh dan kamu yang terus membisu. Semakin tertekan dengan titik yang kunjung bertemu.
Cerita ini sama dengan kisah buruk di masa lalu,kemudian memaksaku untuk menikmati luka-luka itu. Lagi dan lagi, apa yang ku harapkan tak sejalan dengan apa yang semesta harapkan. .

Tertanda Aku.
Aku. Manusia paling buruk yang terus memaksakan takdir.


Share:

Related Posts: